Wednesday, February 10, 2016

Merubah Status - Part 2

Ini kisahku. Kisah perjalananku merubah status. Aku tak tak tahu kapan cerita ini akan berakhir. Tapi akan kutuliskan semuanya di sini agar bisa menjadi pelajaran bagi semua. (walau banyak absurdnya.. hehe).

          Matahari telah melewati puncak tertingginya. Raka’at terakhir telah dilakukan jamaah. Orang-orang kembali menyelesaikan pekerjaannya. Sebagian ada yang beristirahat sembari menunggu jam kerja. Begitupun aku, bersiap dengan segala perlengkapanku. Draft, kuisioner, data awal. Semua sudah kupersiapkan dalam bimbingan kali ini. Ya.. Bimbingan skripsi. Sebuah kata yang horror bagi sebagian Mahasiswa. Tapi bagiku ini adalah pembuktian. Menciptakan sebuah karya fenomenal setelah lebih dari empat tahun bergelut dengan buku, kelas, praktikum, diskusi, dan tugas.

           “Sebentar ya, dek..”, pinta ibu dosen untuk menunggu di sebuah lorong ruangan.

          Di dalam ruangan sayup-sayup terdengar obrolan seorang wanita dewasa yang tak lain adalah ibu dosen, dan seorang Mahasiswa. Ternyata ia juga sedang bimbingan. Dari dalam tampak ibu dosen melontarkan beberapa pertanyaan yang tak mampu dijawab si Mahasiswa. Mahasiswa itu hanya bisa menjawab singkat disertai senyum meringis sebagai ungkapan maaf, saya tidak tahu.

          “Serem banget di dalam !”. Begitu pikirku dalam hati.

          Sembari menunggu, kuteliti lagi kelengkapan yang aku bawa (bisa gawat kalo ketinggalan). Sepuluh menit berlalu, belum juga ada tanda-tanda diskusi di dalam akan selesai. Untuk menghilangkan rasa bosan, kumainkan gadget. Kuperiksa semua notfikasi adakah pesan dari yang belum sempat kubalas. Rupanya tidak ada (pantes aja orang gak ada sinyal), hanya beberapa spam email yang aku sendiri malas membukanya. Sekitar menit ke 15 ibu dosen keluar dan berkata,

          “Dek, silakan masuk !”

          Aku pun masuk ke dalam ruangan. Dalam ruangan itu terdapat bilik-bilik yang lebih kecil, dimana itu adalah ruang kerja para dosen. Ditengah ruangan terdapat meja lonjong dengan beberapa kursi berwarna hijau yang mengintari. Di sisinya terdapat dispenser dengan air yang hanya tinggal setengah gallon. Seberang meja ada rak dengan nama dosen disetiap kolomnya. Ini adalah tempat dimana Mahasiswa dan Dosen berdiskusi.

          “Ini bu, proposal yang sudah saya perbaiki. Dan ini contoh kuisioner yang akan disebarkan”. Ucapku sembari menyodorkan beberapa lembar kertas yang di klip.

          “Sebentar saya periksa dulu. Ini yang kemarin sudah diperbaiki ?”.

          “Sudah, bu…”, Jawabku (perasaan tadi udah bilang kan ya…).

          “Sudah berapa kali konsultasi dengan dosen 2 ?”. Tanya ibu dosen (oh ya.. kawan. Di fakultas kami, skripsi dibimbing oleh dua orang dosen dan ibu ini adalah dosen 1).

          “Baru beberapa kali, bu. Setiap kali bimbingan yang dibahas bukan riset tapi bisnisnya”, Jawabku.

          “Ya sudah, langsung ke pembimbing 2 !. Saya mau makan dulu”.

          “Siap… !”

          Setelah mohon izin, aku beranjak menuju bilik dosen 2, kebetulan ruangannya tepat di sebelah ruang diskusi. Dalam ruangan itu duduk seorang pria paruh baya, berbaju merah, dan sedang menatap layar laptop. Sepertinya beliau sibuk mengerjakan sesuatu. Jemarinya tak berhenti beradu keypad laptop. Raut wajahnya terlihat serius. Setelah kuketuk pintu,

          “Ya, silakan masuk !”, Pintanya.

          Aku pun masuk dan mengambil posisi duduk tepat di depannya. Ku berikan draft proposal skirpsiku. Aku berharap beliau segera membaca dan menyetujuinya sehingga bisa melanjutkan ke tahap riset berikutnya. Tapi yang terjadi, jangankan membacanya, menatapku pun beliau tak sempat. Sebagai Mahasiswa yang baik aku wajib menunggu. Mungkin sebentar lagi juga selesai, pikirku demikian.

          Tapi apa yang aku pikirkan hanya menjadi sebuah pikiran. Kenyataannya aku menunggu hampir 20 menit dan itu tepat dihadapan beliau, bukan di luar ruangan (Kebanyang kan freaknya gimana…). Mengambil sesuatu di dalam tas, membuka gadget, mencorat-coret kertas kosong sudah aku lakukan demi terlihat sibuk di depan beliau, sehingga beliau tidak merasa terbebani dengan aku yang menunggunya. Tapi jemarinya tak kunjung selesai bekerja. Sorot matanya terlihat tajam tatkala menemukan sesuatu yang ganjil dalam pekerjaannya.

Karena menurutku sudah terlalu lama, maka kuberanikan diri untuk bertanya,

          “Pak ini drafnya mau di tinggal, atau gimana ?”.

          “oh.. sebentar dek”. Jawabnya

          Ok, berarti sebentar lagi selesai, lalu beliau akan mengalihkan perhatiannya padaku hahaha.. (apaan sih !). Semua berubah ketika beliau menerima telepon dari seseorang, suaranya yang samar-samar sepertinya seorang wanita. Ternyata itu dari lembaga yang bekerjasama dengan beliau (maklum dosen, banyak proyek..). Setelah menerima telepon  beliau berucap,

          “Di tinggal saja ya, dek. Besok saya baca !”.

(Whaatt ?! piye perasaanmu, mblo……).






To be continue...

<- back Part 1



No comments:

Post a Comment